Petaka Biohazard: 1. Bunga Misterius
1. BUNGA MISTERIUS
Puncak, Bogor
Dua tahun kemudian,
Bangunan villa berlantai dua yang berlokasi di tengah perkebunan teh itu menjadi tempat Madelief Steviana de Bruin berlibur besama para sahabatnya. Sebenarnya, gadis itu memiliki maksud lain untuk pergi ke sana. Tidak ketinggalan, ia mengajak pacarnya untuk ikut. Faizar Sudiarta menuruti ajakan itu karena keinginan Madelief sendiri. Hari pertama mereka berada di sana adalah satu minggu setelah pemuda itu dinyatakan pulih dari kanker kulit yang sempat menyerangnya.
Sebagai ungkapan kebahagiaan, begitu kata Madelief padanya. Faizar mengiyakan dan akhirnya ia bisa berada di sana bersama mereka. Villa dan perkebunan tersebut adalah tempat pribadi milik keluarga besar Madelief, dengan status resmi berada di bawah kepemilikan PT Jaya Agro Wangi yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Sebagai perusahaan yang bergerak di dunia perkebunan dan teknologi pangan, Jaya Agro Wangi membuat keluarga itu dikenal luas oleh kalangan taipan di Indonesia. Terlebih dengan hadirnya Madelief yang memiliki kemampuan menangani berbagai masalah perusahaan. Rudi Hadiarta dan Eliza de Bruin, kedua orangtua Madelief, merupakan dua sosok yang tergolong perfeksionis dalam mengelola perusahaan tanpa memandang siapa pun. Disiplin tinggi namun dengan toleransi yang bisa dibenarkan dengan alasan kuat. Keduanya memang memiliki kesamaan sifat dan sikap, yang kemudian diturunkan pada Madelief sebagai anak pertama.
Tepat di pagi hari, mereka tiba setelah menempuh perjalanan dari Jakarta sekitar empat jam lalu. Setibanya di sana, mereka disambut oleh satu-satunya penjaga villa. Tanpa menunggu waktu lama, Madelief memimpin sesi memasak dengan bahan makanan yang memang sengaja dibawa dari rumahnya. Nasi bakar dengan lauk ayam goreng dan sambal goreng manis pedas menjadi menu sarapan.
“Yang...! Kita makan dulu, yuk!” Madelief memanggil Faizar saat semua makanan sudah matang.
Di saat yang sama, Faizar yang sedang menikmati pemandangan alam di sekitar villa langsung memberi respon dengan menoleh dan mengangkat tangan kanannya. Keindahan tempat itu rupanya langsung memikatnya. Begitu turun dari mobil, ia tidak langsung mengikuti yang lainnya untuk masuk ke dalam villa.
“Hmmmm, padahal masih ingin menikmati pemandangan indah ini. Baiklah, saatnya menyenangkan hati Noni Nederland itu dulu,” gumamnya sambil beranjak.
Di dapur yang juga berfungsi sebagai ruang makan, dengan dibantu oleh Jaja Suparta si penjaga villa, Madelief dan ketiga sahabatnya sibuk menata meja makan dan menu sarapan. Di usia yang tidak lagi muda, Jaja tetap piawai menyiapkan makanan di atas meja dengan gesit. Keempat anak muda itu dibuat melongo oleh sisi enerjiknya.
“Pacarmu ke mana, Lief? Kok tidak ke sini?” Sania Luminar menanyakan Faizar pada Madelief.
“Tadi sudah kupanggil. Responnya cuma angkat tangan kanannya saja,” jawab Madelief.
Jaja yang baru saja meletakkan piringan besar berisi ayam goreng menatap satu per satu keempat anak muda di hadapannya. “Teman kalian yang satu lagi panggil ke sini, biar bisa sarapan bersama-sama.”
“Ehm... anu, Mang. Itu pacarnya Madelief!” sahut Yudi Ariandi.
Jaja melirik Madelief yang pipinya mulai kemerahan. Sementara ketiga anak muda lainnya tertawa cekikikan, ia hanya menggeleng sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, Faizar datang sambil celingukan. Antara mengamati interior villa atau memang kebingungan menemukan dapur, pemuda itu kini sudah berada di dekat dapur. Saat semua mata tertuju padanya, ia malah semakin kebingungan.
“Kenapa?” tanyanya pendek.
Elmina Ranti langsung menyalip Madelief yang akan berjalan menuju Faizar. Dengan ekspresi jahil ia malah memperkenalkan Faizar pada Jaja. Tentu saja Madelief mendelik padanya.
“Nah, ini pacarnya Madelief, Mang! Namanya Faizar, bisa dipanggil Izar. Kalau Madelief sih memanggilnya dengan sebutan....”
“Ssssshhh...!” Madelief mendesis jengkel padanya sambil menarik tangan Faizar.
Jaja memperhatikan sosok Faizar yang ada di depannya. Seperti alat penyensor, kedua matanya memperhatikan dengan detail pemuda tersebut.
“Oh... jadi kamu teh yang bernama Faizar?” Jaja langsung menjabat tangan Faizar.
Faizar tersenyum. “Muhun, Pak. Izar oge tiasa atuh.”
“Euleuh, bisaan nyarios basa Sunda, Sep?” tanya Jaja yang terkagum-kagum pada Faizar.
“Bisa. Pan aya geutih Sunda oge,” jawab Faizar dengan nada ramah.
Jaja menepuk-nepuk pundak pemuda itu. “Alus budak jaman ayeuna, masih inget kana asal dirina, kukuh kana dirina. Hayu atuh, urang dahar babarengan!”
Mereka semua kemudian duduk bersama mengelilingi meja makan. Madeleif mendahului dengan mengambilkan nasi bakar dan bagian dada ayam goreng untuk Faizar. Tidak lupa ia menambahkan dua sendok sambal. Jaja dan lainnya mengambil bagian mereka sendiri. Nasi bakar yang masih hangat dengan kepulan asap tipis menggugah selera makan Faizar yang memang merindukan makanan kesukaannya tersebut. Dengan agak lahap ia menyendok nasi bakar ke dalam mulutnya. Masakan buatan Madelief memang sangat lezat, begitu ia mengakuinya.
Selesai sarapan, giliran Sania yang mencuci semua peralatan memasak dan makan yang telah digunakan. Sementara yang lainnya melakukan aktivitas masing-masing. Sambil kembali melihat-lihat seisi villa, Faizar sesekali mengamati lekat-lekat setiap lukisan pemandangan dan guci hias yang ada. Ia yakin semuanya memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Hal itu memang tidak asing baginya. Rumah keluarga Madelief yang berlokasi di Jakarta Selatan memiliki lebih banyak lagi.
Perhatian Faizar tertuju pada satu-satunya foto keluarga di ruang utama lantai dua. Di dalamnya, Madelief beserta kedua orangtuanya dan adik lelakinya mengenakan pakaian formal dan gaun hijau sebatas betis. Wajah pacarnya tersebut bahkan masih terlihat seperti anak SMA yang baru lulus. Meski kenyataannya ia mengakui kalau tidak ada yang berubah dari Madelief saat ia membandingkannya dengan yang sekarang.
24 Juni 2018. Tanggal yang tertera di pojok kiri bagian bawah foto.
“Manis,” ucapnya lirih.
Saat ia sedang asyik mengamati foto itu, Jaja sudah naik ke lantai dua untuk bersih-bersih. Menyadari kehadiran si penjaga villa, Faizar menoleh. Lelaki itu menenteng kemoceng dan sapu dan mulai bekerja sambil menyenandungkan sebuah lagu berbahasa Sunda.
Faizar tergelitik untuk bertanya pada Jaja. “Mang, saya mau tanya. Sudah berapa lama Mamang bekerja untuk keluarganya Madelief?”
“Sudah lama, Cep,” jawab Jaja sambil menoleh. “Sejak Neng Madelief masih kecil, yah... kira-kira enam tahun usia anak itu. Dulu mah Mamang menjadi kepala penjaga rumah besarnya di Pondok Indah. Saat si Neng masuk SMA, villa ini baru selesai dibangun. Karena kedua orangtuanya sudah percaya pada Mamang, maka Mamang dipindahkan untuk berjaga di sini. Ya... semua biaya perawatan villa ini memang ditanggung oleh mereka. Villa ini menjadi tempat berlibur keluarga besar itu, atau kalau Tuan Rudi mengadakan peninjauan di sini. Biasanya kalau ke sini, Tuan Rudi juga mengajak istri dan Madelief beserta adiknya.”
Mendengar penjelasan Jaja, Faizar mengangguk-angguk. “Pasti biaya perawatan villa ini sangat mahal. Karena sejak saya amati masih tampak seperti baru dibangun,” ujarnya.
Jaja mendekati Faizar sambil meneruskan pekerjaannya. “Bukan mahal lagi atuh. Tuan Rudi malah sampai membelikan dua motor trail untuk keperluan Mamang dan penghuni di sini. Kalau disebutkan jumlah biayanya mah sangat besar. Itu sudah termasuk biaya makan, listrik, air, perawatan taman dan koleksi bunga yang ada di sini. Belum lagi tambahan lainnya dari Tuan.”
“Tadi Mamang bilang keluarga besar, berarti....”
“Iya, Cep. Bukan hanya yang di foto itu saja. Ada juga saudara-saudara lain seperti yang tinggal di Jakarta Pusat, menginap di sini. Lagipula, keluarga istrinya Tuan Rudi sudah ada beberapa generasi yang tinggal di daerah ini. Kalau mereka itu memang keturunan Belanda. Makanya, wajah Neng Madelief lebih mirip Nyonya Eliza.”
“Oh, begitu. Mamang tahu tentang itu dari siapa?”
“Neng Madelief dan ibunya sendiri yang cerita pada Mamang.”
“Hmmm, ya, ya. Aduh, malah jadi mengajak ngobrol. Maaf saya sudah ganggu, Mang,” Faizar menyingkir dari posisinya berdiri dan beranjak ke balkon.
Jaja hanya menanggapi santai dengan mengangguk. Kembali, lelaki paruh baya itu bersenandung sambil melakukan pekerjaan bersih-bersihnya.
* * * * *
Markas Baihaqi Armed Corps
Kota Bogor, Jawa Barat
Di hari yang sama,
Sebuah mobil Jeep Rubicon berwarna hitam memasuki area markas Baihaqi Armed Corps. Seakan tahu siapa yang datang, para penjaga memberi hormat. Sesampainya di depan gedung utama, mobil itu berhenti.
Eiden Al-Baihaqi yang masih mengenakan seragam lapangan turun dari mobil tersebut diikuti oleh tiga orang personil lainnya. Setelah melewati serangkaian prosedur pemeriksaan, mereka semua menuju ruangan komando di bagian bawah tanah markas. Di dalam sana, beberapa orang dengan seragam yang sama tampak sibuk. Seorang wanita muda berambut lurus sebahu dan berkacamata tampak mondar-mandir sambil mengarahkan mereka untuk mengerjakan sesuatu. Sesekali ia melepas kacamata dan mengenakannya kembali.
Dengan agak tergesa-gesa, Eiden dan ketiga rekannya masuk.
“Ada kabar penting apa sampai aku dipanggil kembali ke sini, Mar? Kalian kan tahu, tugasku di Papua belum selesai,” gerutu Eiden sambil memperhatikan seisi ruangan.
“Ah, kau baru tiba? Ini masih soal bioterorisme, Eid,” kata Maria Santika, “ada tanda mencurigakan yang mengarah ke sana. Kau bisa baca di kertas itu.”
Maria memberi secarik kertas pada Eiden. Sambil menarik napas, Eiden membaca dengan teliti isi kertas yang ada di tangannya. Sesaat ia mengerutkan dahi lalu sedikit membelalak, seakan terkejut.
“Apakah Faizar sudah diberitahu?” tanyanya kemudian.
“Bukannya kau sendiri yang bilang untuk tidak mengganggu Faizar selama ia berlibur?” Maria menoleh padanya sambil sesekali memantau pekerjaan para bawahannya.
“Iya juga,” Eiden menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. “Bagaimana, ya? Lagipula yang sedang kita hadapi ini masih belum jelas.”
Maria menggeleng. “Jangan meremehkan yang satu ini, Eid. Belum jelas bukan berarti itu tidak berpotensi menjadi ancaman.”
Eiden tidak menanggapi kali ini. Saat ini pikirannya lebih tertuju pada hal lain. Ia ingin makan sesuatu.
“Setidaknya, aku mau beristirahat sebentar, Mar. Untuk minum kopi atau makan makanan kecil di kantin. Di Papua, sangat tidak mungkin mencari waktu luang sekadar minum kopi dan duduk. Peluru dan roket berdesingan di atas kepala, granat beterbangan dengan sekali lempar. Aku butuh tempat bersantai,” Eiden menggerutu sambil memberi isyarat pada ketiga rekannya untuk meninggalkannya dan Maria. Mereka bertiga mengangguk, tanpa bicara lagi ketiga tentara itu pergi menuju tempat lain.
“Aku mau minum kopi, creamy latte. Mau ikut?” tawar Maria.
“Boleh,” Eiden mengiyakan.
Keduanya lalu berjalan menuju kantin yang berada di atas. Kantin yang ada di lantai satu gedung utama itu tampak besar dan terkesan mewah, namun harga setiap makanan dan minumannya terjangkau. Para tentara yang kebetulan masih berada di markas memfavoritkan kantin tersebut. Pengelolaan yang baik dan professional membuat tempat itu selalu didatangi orang.
Setibanya di sana, Eiden mencari tempat duduk yang berada tepat di samping jendela. Tak lupa, ia memesankan dua cangkir kopi yang berbeda dan muffin. Hari itu tidak banyak orang yang berada di kantin karena belum memasuki jam makan siang.
“Dua kopi dan muffin. Yang satu hitam dengan sedikit gula, dan satu lagi creamy latte. Untuk muffin, disamakan saja dengan rasa vanilla,” pesannya.
Sambil menunggu pesanan tiba, Eiden memulai pembicaraan.
“Masalah di Papua sendiri tidak kalah berbahaya. Kau ingat peristiwa yang selalu dianggap sebagai kudeta, dua tahun lalu?”
Maria mencoba mengingat kembali. Ia kemudian mengangguk-angguk seakan sudah menemukan memori masa lalu yang terabaikan.
“Iya, iya. Aku ingat. Maksudmu, ada yang mirip dengan kudeta tersebut?” tanyanya.
“Bukan kudetanya, tapi para pelakunya,” jawab Eiden. “Para separatis ternyata mampu berubah menjadi makhluk mengerikan yang sangat ganas.”
“Aku curiga ada pemangku kepentingan atau pihak ketiga yang ikut bermain di belakang itu semua. Setidaknya, aku mencurigai saat di mana jarak waktu antara pemilihan presiden, pertempuran revolusi dengan peristiwa kudeta gagal itu hanya tiga bulan. Ayahku berhasil membongkar kecurangan pemilu dan membantu Presiden Mahmud menggeser rezim sebelumnya yang dipimpin Johan Facturia. Kita semua tahu, Facturia adalah sosok pemimpin yang tidak segan melakukan apa saja demi kepentingannya. Bahkan orang itu dicurigai terlibat dalam kerugian negara sebesar dua puluh trilyun rupiah, yang hampir saja menyeret Indonesia ke dalam perang saudara,” tambahnya.
Maria mengangkat satu alisnya. “Kau mencurigai Facturia?”
“Semula aku menduganya sebagai dalang utama kudeta. Tapi saat kutelusuri, tidak ada satu pun bukti kuat yang mendukung itu,” ungkap Eiden.
Maria mengeluarkan smartphone dari saku jas blazernya dan membuka aplikasi Take It. “Sebentar. Aku mau memesan Take Food untuk makan siang.”
“Kau mau kupesankan sekalian?” tanyanya lagi.
“Kenapa tidak pesan sekalian saja tadi, Mar?” tanya Eiden sambil mengerutkan dahi.
“Kau mau atau tidak?” Maria malah balik bertanya tanpa menoleh.
“Ya, boleh. Yang berkalori cukup,” jawab Eiden.
Maria segera memilih menu di aplikasi. “Sebentar, ada Ayam Geprek Bang Rojali... Ramen Fujiko.... uhm, ya. Ini dia....”
Pemuda itu menyandarkan badannya sambil kembali menikmati kopi hitamnya. Jam masih menunjukkan pukul sebelas. Meski agak kelelahan karena tugas sebelumnya, ia masih tetap terlihat bugar. Dalam pikirannya, ia hampir tidak percaya dua tahun lalu yang penuh dengan warna kemelut dan ketegangan sudah berganti kembali dengan cepat. Kedamaian dan keamanan yang terwujud di negara tempatnya lahir sempat terkoyak akibat perseteruan politik yang melelahkan. Saat itu Syamsir Al-Baihaqi, ayahnya, sekaligus pendiri Baihaqi Grand Corporation berdiri paling depan menentang kekuasaan Johan Facturia. Lelaki berwajah teduh itu menolak tegas ajakan Facturia untuk ikut dalam pemerintahan. Sebagai antisipasi, ia kemudian mendirikan Milisi Keadilan yang nantinya berevolusi menjadi Baihaqi Armed Corps.
Kekuasaan Johan Facturia akhirnya mulai tumbang setelah kecurangannya menggandakan suara dibongkar habis oleh Syamsir. Pasukan Milisi Keadilan, Kostrad, Kopassus dan segenap unsur militer lainnya merangsek masuk ke Istana Merdeka yang dijaga oleh tentara bayaran yang disewa Facturia. Pertempuran revolusi tak terhindarkan dan akhirnya melebar ke seantero ibukota Jakarta. Di kota-kota besar lainnya, kerusuhan turut meluas. Pasukan penolak rezim Facturia akhirnya menang. Mahmud Arianagara, seorang bangsawan Sunda diangkat menjadi presiden baru. Keamanan dan ketertiban dipulihkan. Semua kerugian yang dialami perlahan mulai diperbaiki agar bisa kembali seperti semula.
Memori penuh emosi yang melelahkan bagi Eiden.
Sementara Maria masih sibuk memilih menu makan siang melalui aplikasi, pesanan kopi dan muffin yang ditunggu akhirnya datang. Eiden memperhatikan secangkir kopi hitam yang kini sudah di tangannya. Minuman itu diseruputnya sebanyak dua kali. Cukup untuk membuatnya berpikir jernih lagi di saat rasa kantuk dan lelah mulai datang.
“Di kertas tadi disebutkan ada kemungkinan penyebarannya melalui perantara. Apa maksudnya itu?”
Maria kembali menatap Eiden.
“Makhluk hidup lainnya, apa saja. Aku tahu kau terkejut karena di antara beberapa lokasi yang dicurigai, salah satunya adalah di sekitar kota ini. Kalau Faizar ada di sini, ia pasti akan pergi sendiri untuk menyelidiki kebenarannya.”
Eiden memalingkan wajah ke arah luar sambil mengangguk-angguk. “Iya, Faizar tentu akan menyelidikinya. Sayang sekali, aku harus memberikannya waktu berlibur agar ia bisa beristirahat total. Abahku pun menyetujui itu. Apa kita tidak ada opsi lain?”
Maria tampak sedikit kebingungan. “Hendra Wahyudi, Denis Yudianto, dan Ezvan Sangaji. Kita hanya ada sisa mereka bertiga saja. Tapi mereka sedang ada tugas intelijen masing-masing. Hendra masih menangani masalah penyelundupan virus di Portugal, Denis berada di Afghanistan dalam rangka membantu pemerintah untuk membongkar konspirasi kotor oposisi terkuat di sana. Dan satu lagi, Ezvan yang bertugas sebagai staf pengamanan dalam negeri sementara di Dinas Intelijen Turki. Kalau saja Ezvan ada di sini, aku tentu sudah menugaskannya karena ia adalah juniornya Faizar. Mereka semua sibuk, Eid,” ungkapnya jelas.
Merasa seperti menghadapi dinding penghalang yang kokoh, Eiden mengusap wajahnya. Faizar sebenarnya sudah mengatakan tidak akan meminta libur dan siap bertugas kembali pasca pulih. Namun, ia dan ayahnya sudah memutuskan untuk mengistirahatkan sementara pemuda yang menjadi sahabatnya sejak dua belas tahun lalu itu. Ditambah lagi dengan desakan Madelief pada ayahnya, akhirnya izin tersebut diberikan.
“Berarti tidak ada cara lain, ya? Mau kuhubungi Faizar sekarang?” tanya Eiden.
“Baiklah. Tapi tunggu setelah aku mengirimkan tim mata-mata dan mereka mendapatkan hasil. Terpaksa, deh. Kita harus menggunakan tim yang kroco-kroco dulu. Semoga saja mereka tidak melakukan sesuatu yang akan mendatangkan bahaya,” Maria tampak pasrah menyetujui tawaran Eiden.
* * * * *
Alunan instrumen piano memecah kesunyian malam di lantai dua villa ketika Madelief dengan lincah menekan tutsnya. Tanpa buku instrument, gadis itu sudah hapal di luar kepala dengan musik yang dimainkannya. Di dekatnya, Faizar duduk sambil membaca buku dan menikmati minuman sari jahe yang masih hangat. Sayup-sayup di luar terdengar Yudi, Sania dan Elmina bernyanyi diiringi suara gitar. Namun, suara piano yang dimainkan Madelief lebih memikatnya. Piano tersebut sudah ada bersamaan dengan dibangunnya villa tersebut. Madelief secara khusus membelinya dan menempatkannya di sana, agar setiap ia datang bisa memainkannya.
“Baru kali ini aku bisa dengar permainan musik yang bagus lagi darimu,” Fajar mengomentari sambil meletakkan buku yang selesai dibacanya.
“Saat ini aku sedang senang-senangnya. Ya... karena kamu sudah pulih, dan bisa bertemu kamu lagi,” balas Madelief sambil terus memainkan musik.
Faizar bangkit dan berjalan mendekati pintu luar yang memisahkan ruangan utama dengan balkon. Dari sana ia bisa melihat gemerlapan lampu yang ada di salah salah satu desa. “Dengan tempat yang jauh dari pemukiman warga setempat, kamu betah di sini?”
Madelief mengangguk. “Betah. Tempat ini memang jauh dari desa-desa di sekitar perkebunan. Aku suka tempat ini dengan segala pemandangan dan ketenangan yang bisa kudapatkan,” ujarnya setelah menghentikan permainan musiknya.
Dalam hatinya, Faizar mengiyakan perkataan pacarnya. Ia juga sangat menyukai suasananya seperti di awal kedatangan. Kalau tempatnya semenyenangkan ini ia mau tinggal dan menghabiskan waktu bersama hanya dengan Madelief, begitu pikirnya.
Madelief ikut duduk di sebelahnya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Faizar. “Tapi... aku mengantuk juga lama-kelamaan. Rasanya ingin terus bersantai di atas tempat yang empuk,” desisnya.
“Kalau sudah mengantuk, kamu boleh tidur lebih dulu,” ucap Faizar halus.
Beberapa saat kemudian, Jaja muncul dari arah tangga sambil membawakan makanan dalam nampan. Di belakang bahunya tergantung sebuah tas panjang bertuliskan ‘Tools for Repair’. Madelief yang menyadari kedatangan si penjaga villa segera bangun. Lelaki paruh baya itu kini sudah sampai di depan mereka.
“Sudah waktunya makan malam, Neng. Sep Faizar juga. Yang lain mah sudah makan tadi,” kata Jaja sambil menurunkan dua piring menu makan malam.
“Aduh! Saya lupa, Mang. Jadi tidak enak nih merepotkan Mamang,” Faizar menerima piring itu dengan ekspresi tidak enak.
Jaja mengangguk. “Tidak apa-apa. Ini juga Neng Sania dan Sep Yudi yang bantu Mamang memasak.”
Sementara Faizar dan Madelief menyantap makan malam, Jaja berjalan ke balkon. Tampaknya ia akan memperbaiki sesuatu. Benar saja, tak lama kemudian lelaki itu terdengar sedang memukul-mukul dengan palu yang diambilnya dari tas peralatan. Hingga beberapa saat setelah kedua anak muda itu selesai makan, Jaja masih melakukan pekerjaannya.
Madelief bergegas turun ke bawah untuk mencuci piring. Faizar yang penasaran mendatangi balkon. Rupanya ada salah satu bagian langit-langit yang lepas dan harus dirapatkan. Ia tampak antusias menyaksikan pekerjaan yang dilakukan oleh Jaja.
“Akhirnya, sudah selesai,” Jaja turun dan merapikan tas peralatannya.
“Ada yang lepas, Mang?” tanya Faizar.
“Iya. Sebenarnya sudah dari kemarin malam, tapi baru sempat Mamang perbaiki sekarang,” jawab Jaja santai. “Oh, hampir lupa. Kamu dan yang lainnya sudah tahu, belum? Di dekat Desa Sadulur ada kemunculan bunga aneh,” katanya lagi.
Faizar terdiam sambil mengerutkan dahi. Sebelum sampai ke villa, mereka sempat mampir di pasar desa itu untuk membeli beberapa kebutuhan. Ia sempat mendengar obrolan pedagang di sana yang menyebut adanya bunga aneh yang muncul secara tiba-tiba di sebuah hutan kecil dekat desa itu. Hanya saja yang belum diketahuinya adalah bentuk dan rupa bunga misterius tersebut.
“Tadi pagi, sebelum datang ke sini sih sempat dengar dari obrolan warga desa di sana. Saya hanya belum dengar bagaimana wujudnya, Mang.”
“Iya. Tidak salah kalau warga menyebutnya bunga yang aneh. Selain kemunculannya yang misterius, bunga itu juga memperlihatkan sesuatu yang aneh.”
“Anehnya bagaimana, Mang?”
Sebelum Jaja menjawab pertanyaan Faizar, Madelief sudah berada di dekat mereka. Ia bergantian menatap keduanya. “Kalian sedang membicarakan apa? Wajah kalian tampak serius.”
“Ini, Neng. Ada bunga misterius di dekat Desa Sadulur,” terang Jaja, “tadi Mamang sudah ceritakan pada Sep Faizar. Ternyata sudah tahu juga.”
Madelief melirik Faizar. Pemuda itu hanya mengangguk dua kali. Gadis bermata cokelat itu kemudian beralih lagi pada Jaja. “Ceritakan bagaimana bentuknya, Mang?”
“Baru kali ini Mamang menyaksikan ada bunga yang sangat aneh seperti itu. Kalau dari fisiknya, tampak seperti bunga mawar. Hanya saja... warnanya hitam pekat dan gelap. Penuh bintik-bintik berbagai ukuran berwarna merah darah. Yang lebih mencengangkan lagi, bunga itu bisa mengeluarkan carian menyerupai darah segar. Ya... seperti darah manusia!”
Mendengar keterangan Jaja, Faizar hanya diam. Tidak demikian dengan Madelief. Gadis yang baru saja memulai karier sebagai peneliti di LIPI itu mulai tertarik dengan bunga yang diceritakan oleh Jaja.
Sambil menggenggam tangan Faizar, Madelief mengutarakan keinginannya. “Aku mau lihat bunga itu secara langsung. Besok kita ke sana, ya?”
Faizar tidak langsung menjawab. Ia menatap Jaja seakan meminta persetujuan. Seakan mengerti, si penjaga villa menyanggupi.
“Kalau kalian memang mau melihat bunga misterius itu, besok Mamang antar ke tempatnya.”
[Bersambung]
0 Response to "Petaka Biohazard: 1. Bunga Misterius"
Post a Comment